Pages

Sabtu, 21 Mei 2011

NASA nantikan Inovasi Teknologi Untuk Jelajah Ruang Angkasa lebih jauh


Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menantikan inovasi teknologi yang akan dapat membawa manusia menjelajah ruang angkasa lebih jauh.

Setelah merayakan peringatan 30 tahun peluncuran pesawat ulang alik pertama, NASA mulai memandang jauh ke depan guna menyambut babak baru penjelajahan ruang angkasa. Para punggawa pun NASA amat antusias menantikan inovasi teknologi yang akan muncul dalam pengembangan kendaraan ruang angkasa generasi mendatang yang akan dapat membawa manusia ke bulan, asteroid hingga ke Mars.

Antusiasme itu diungkapkan salah seorang spesialis program NASA, Dan Lockney. Menurutnya, NASA sedang melakukan investasi besar-besaran dalam teknologi terbaru yang akan digunakan pada misi luar angkasa NASA di masa mendatang. Teknologi tersebut nantinya akan digunakan pada kendaraan ruang angkasa yang akan dapat menjelajah lebih jauh dari kendaraan ruang angkasa saat ini. "Tentu sangat menarik melihat inovasi apa yang akan terwujud," kata Lockney.

Lockney menyebutkan, program pesawat ulang alik telah menghasilkan banyak teknologi inovatif. Salah satunya adalah pengembangan Video Image Stabilization and Registration (VISAR), teknologi yang digunakan untuk menstabilkan gambar video. Awalnya, teknologi ini dikembangkan untuk mencari kerusakan yang mungkin terjadi ketika pesawat ulang alik mengalami turbulensi saat lepas landas. Namun pada perkembangannya, VISAR digunakan militer Amerika untuk melacak serta memastikan keberadaan Saddam Hussein pada tahun 2003.

Hingga saat ini, NASA memiliki armada pesawat yang terdiri dari Columbia, Challenger, Discovery, Atlantis, dan Endeavour yang telah beberapa kali menjalankan misi luar angkasa. Columbia merupakan pesawat ulang alik pertama yang diluncurkan ke ruang angkasa pada 12 April 1981, sekaligus menjadi tonggak era baru penjelajahan ruang angkasa.

Usia pesawat yang makin menua dan banyaknya rahasia ruang angkasa yang belum terungkap mendorong NASA untuk terus berinovasi guna menemukan batas akhir jagat raya.

vivanewsforum

Di Rondonia Brazil, Waktu 'Tak Berjalan'



Kebanyakan manusia modern percaya dengan ungkapan 'waktu adalah uang'. Namun ungkapan itu tak akan pernah berlaku saat Anda pergi ke Rondonia, perbatasan antara Brazil dan Bolivia.

Sebab, percaya atau tidak, suku asli di sana, Amondawa, tak pernah mengenal konsep waktu. Mereka tak memiliki standar ukuran waktu untuk dihitung atau dibicarakan.

"Bagi suku Amondawa, waktu sama sekali tidak eksis," kata Profesor Chris Sinha, peneliti dari University of Portsmouth, kepada situs DailyMail.

Setelah meneliti suku itu selama delapan minggu, Sinha berkesimpulan bahwa suku Amondawa adalah suku yang memiliki 'kebebasan' terhadap waktu.

Mereka tak pernah mendiskusikan pekan depan, bulan depan, atau bahkan tahun depan. Sebab, bahasa mereka sama sekali tak punya kosa kata 'pekan', 'bulan', atau 'tahun'.

Bahkan tak satupun anggota suku itu yang memiliki umur. Dalam kehidupan sehari-hari, suku Amondawa cuma mengenal pembagian antara siang dan malam, atau musim hujan dan kering.

Untuk mengenal senioritas dan posisi di suku ini, semua anggota suku ini akan berganti nama bila ada anggota keluarga baru yang lahir. Nama mereka akan berubah, karena terdahulu musti diberikan kepada anggota keluarga yang lebih muda.

Suku Amondawa awalnya adalah suku yang terisolir, dan mulai mengenal dunia luar sejak 1986. Mereka tetap melanjutkan tradisi mereka termasuk berburu, menjadi nelayan, dan berkebun.

vivanews

Kamis, 05 Mei 2011

Bukti-Bukti Kehidupan Awal Bumi Ada di Bulan



Mengetahui bagaimana kehidupan dimulai di planet Bumi adalah salah satu target utama ilmu pengetahuan. Sejumlah peneliti asal Inggris memiliki teori baru. Mereka yakin kunci untuk mengetahui misteri bentuk kehidupan awal di Bumi justru berada di bulan.

Peneliti menyebutkan, batu-batuan yang berasal dari planet Bumi terlempar ke bulan saat asteroid membombardir Bumi dan inner planet (planet paling dekat dengan Matahari) lainnya.

Sebagai informasi, sekitar 4 miliar tahun lalu, terjadi fenomena hujan meteor yang disebut sebagai Late Heavy Bombardment. Ketika itu, planet Merkurius, Venus, Bumi, dan Mars dihujani oleh ribuan asteroid dan meteorit yang menghantam permukaan planet.

Fenomena sangat mengerikan yang berlangsung selama 300 juta tahun itu memiliki efek beragam pada planet-planet yang ketika itu masih muda, salah satunya adalah pelontaran miliaran ton material dari permukaan planet ke luar angkasa.

Pada kasus Bumi, sebagian material itu kemungkinan berhasil tiba di Bulan. Hipotesis ini sangat masuk akal, mengingat di kutub selatan Bumi pernah dijumpai meteorit yang terbukti berasal dari planet Mars.

Untuk itu, sangatlah mungkin berasumsi bahwa planet-planet terdalam saling bertukar material saat Late Heavy Bombardment. Demikian pula dengan Bumi dan Bulan yang juga saling bertukaran material.

Menurut sejumlah pakar dari University of London Birkbeck College School of Earth Sciences, material milik Bumi itu telah mendarat di Bulan dengan mulus sehingga memungkinkan tanda-tanda biologis tetap tersimpan dengan baik.

Dikutip dari Softpedia, 5 Mei 2011, tim peneliti yang diketuai oleh Ian Crawford dan Emily Baldwin menyebutkan, tanda-tanda biologi itu justru tidak akan mampu bertahan di Bumi karena besarnya dampak tumbukan meteor, erosi akibat angin dan hujan, aktivitas volkanik, gempa bumi, dan penguasaan habitat oleh spesies makhluk hidup lain.

Dalam sejumlah simulasi komputer, tim peneliti menunjukkan sebongkah material yang terpental ke arah Bulan akibat tumbukan asteroid pada bumi akan mendarat di permukaan Bulan dengan kecepatan 2,5 kilometer per detik atau kurang. Dengan temperatur yang ada di Bulan, tidak ada bagian dari material itu yang mendekati tekanan puncak yang mengakibatkan material itu meleleh.

Sayangnya, teori baru ini belum bisa dibuktikan secara ilmiah sampai manusia kembali pergi ke Bulan, mengumpulkan sampel bebatuan dari sejumlah lokasi, dan membawa pulang ke Bumi untuk dianalisa secara mendalam. Namun, melakukan penelitian seperti itu akan memberikan kita pengetahuan yang luar biasa akan sejarah kehidupan di planet Bumi.

vivanews

Tahun 2100 Permukaan Laut Naik 1,6 Meter



Percepatan perubahan iklim di Kutub Utara serta mencairnya sebagian es di Greenland berpotensi menaikkan ketinggian air laut hingga 1,6 meter pada tahun 2100 mendatang. Kenaikan ini lebih tinggi dibandingkan sebagian besar prediksi ilmiah sebelumnya.

Kenaikan air laut hingga 1,6 meter akan mengancam sejumlah kawasan, mulai dari Bangladesh sampai Amerika Serikat dan kota-kota mulai dari London hingga Shanghai. Kenaikan air laut juga akan meningkatkan biaya, misalnya pembangunan benteng penahan banjir atau tsunami di Jepang.

“Enam tahun terakhir, sampai 2010, merupakan periode terpanas yang pernah tercatat di Kutub Utara,” demikian laporan yang dibuat oleh Arctic Monitoring and Assessment Programme (AMAP) yang didukung oleh delapan negara Arctic Council.

Laporan itu menyebutkan bahwa gletser dan gunung es di Kutub Utara serta lapisan es di Greenland mempengaruhi kenaikan permukaan air laut global sebanyak 3 milimeter per tahun saat diamati antara tahun 2003 dan 2008.

Sebelum ini, pada laporan yang disusun oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), PBB pada tahun 2007, diperkirakan bahwa kenaikan permukaan air laut hanya antara 18 sampai 59 sentimeter saja di tahun 2100.

“Kenaikan permukaan laut yang pada penelitian terbaru diprediksi jauh lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya merupakan hal yang mengkhawatirkan,” kata Connie Hedegaard, seperti dikutip dari Scientific American, 5 Mei 2011.

Penelitian ini, sebut Hedegaard, merupakan peringatan bagi kita bahwa mengatasi perubahan iklim menjadi sangat penting. Seperti diketahui, upaya PBB dalam memerangi perubahan iklim berjalan sangat lambat. Menurut PBB, janji-janji para pemimpin negara untuk membatasi emisi gas buang, khususnya dari bahan bakar berbasis fosil, tidaklah cukup untuk menghindari perubahan yang sangat berbahaya itu.

Untuk menindaklanjuti hasil penelitian terbaru itu, menteri luar negeri dari negara-negara Arctic Council yakni Amerika Serikat, Russia, Kanada, Swedia, Finlandia, Denmark, Norwegia, dan Islandia akan bertemu di Greenland pada 12 Mei mendatang. Sebagai informasi, peningkatan suhu di kawasan Kutub Utara rata-rata dua kali lipat di banding dengan kenaikan suhu rata-rata di seluruh dunia.

vivanews.com

Senin, 02 Mei 2011

Hadapi Perompak, Marinir Harus Dampingi ABK



Melihat banyaknya warga negara Indonesia yang menjadi korban penyanderaan oleh perompak Somalia, pemerintah Indonesia harus membuat prosedur tetap (protap) baru. Diantaranya adalah pengiriman pasukan marinir untuk mengawal para WNI di kapal asing.

Menurut dosen hubungan internasional di Universitas Padjadjaran, Bandung, Teuku Rezasyah, hal ini harus dilakukan mengingat peristiwa perompakan di Somalia telah berada di titik kritis. Warga negara Indonesia yang bekerja di kapal-kapal asing juga kerap menjadi korban.

"Pemerintah Indonesia harus membuat protap baru dalam menghadapi perompak. Setidaknya dalam satu kapal yang diawaki sepuluh saja warga negara Indonesia, pemerintah harus mengirimkan satu orang marinir untuk mendampingi," ujar Rezasyah.

Hal ini, tambah dia, harus dilakukan mengingat peristiwa terakhir yang melibatkan pemerintah Indonesia adalah peristiwa yang memalukan negara. Negara, ujarnya, sudah saatnya harus berani bersikap dalam menanggapi hal ini.

Dia mengatakan bahwa pasukan marinir yang mendampingi para awak kapal adalah pasukan yang terlatih dan tahu bagaimana harus bersikap dalam menghadapi perompak.

"Pasukan ini ditempatkan di kapal berbendera Indonesia maupun yang berbendera asing yang diawaki oleh warga negara Indonesia," ujarnya.

Langkah ini, lanjut Rezasyah, haruslah melalui persetujuan dari International Maritime Organization (IMO) yang memberikan koordinasi maupun masukan kepada kapal yang hendak melalui perairan rawan.

"Selain itu, IMO haruslah memiliki kemampuan dan perangkat yang dapat melacak keberadaan kapal dari satelit," kata Rezasyah.

Perangkat ini, ujarnya, sebenarnya dimiliki oleh pemerintah Amerika Serikat. Dia mengatakan bahwa perangkat canggih AS mampu melacak, bahkan menyabotase kapal asing yang dibajak perompak.

"AS sebenarnya tahu keberadaan kapal-kapal tersebut, mereka bahkan dapat menyadap pembicaraan antara pemilik kapal dengan negara tujuan. Tapi kenapa mereka diam saja, padahal perompakan ini telah masuk ke dalam tindak terorisme?" ujar Rezasyah.

Dia mengatakan bahwa IMO beserta negara-negara lain seharusnya bekerja sama dengan AS dalam menghadapi perompak. AS juga seharusnya, ujar Rezasyah, memberikan bantuan secara cuma-cuma tanpa perlu diminta terlebih dulu.

"Kalau mereka mengaku sebagai polisi dunia, buktikan," tegas Rezasyah.

Kasus penyanderaan WNI terbaru terjadi saat Kapal MT Gemini berbendera Singapura dibajak oleh perompak Somalia di perairan 222 kilometer dari Dar es Salaam di Tanzania. Kapal berbobot mati 29.871 ton milik Glory Ship Management Pte Ltd tersebut membawa 28.000 ton minyak sawit mentah dari pelabuhan Kuala Tanjung, Sumatra Utara, menuju Mombasa, Kenya.

Kapal ini diawaki oleh 25 orang yang terdiri dari 13 warga negara Indonesia (WNI), empat warga Korea Selatan, tiga warga Myanmar dan lima warga China.

vivanews